Message of Monday – Senin, 6 Juni 2022 Musibah atau Musibah Oleh: Sonny Wibisono *
“Kita harus bersyukur terhadap berkah dan musibah yang terjadi.” -- Anonim
Seorang kawan dekat bercerita belum lama ini keponakannya yang masih duduk di bangku sekolah menengah wafat usai mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Sukabumi. Sang keponakan terjatuh dari motor dan kepalanya membentur trotoar. Terjadi perdarahan dan mengalami gegar otak. Sayangnya, saat berkendara ia tak menggunakan helm. Keluarga yang ditinggalkan mengatakan hanya bisa pasrah atas musibah yang terjadi. Walau begitu, yang disesalkan dari sang teman ialah mengapa sang keponakan tak memakai helm. Bila memakai helm, tentu ceritanya beda.
Peristiwa itu hanya menambah daftar kecelakaan yang terjadi dalam rentang waktu beberapa bulan ini. Saat ini, boleh dibilang, hampir tiap pekan, ada saja kabar yang memberitakan adanya kecelakaan. Misalnya saja, sebuah mobil yang tersambar kereta api saat menerobos palang pintu perlintasan yang telah ditutup. Lain waktu, sebuah motor yang mengalami tabrakan setelah melawan arus.
Berita-berita itu begitu cepat viral di media sosial, bahkan sebelum media mainstream memberitakannya. Menjadi viral karena sebelum atau setelah kejadian, selalu ada saja yang merekam peristiwa naas itu. Komentar dari netizen pun beragam. Ada yang menyayangkan mengapa peristiwa itu terjadi. Tak sedikit pula yang mengatakan bahwa sudah menjadi takdirnya terkena musibah. Tapi benarkah itu musibah semata?
Kita sering kali mengatasnamakan suatu peristiwa yang terjadi sebagai musibah atau cobaan yang pada hakekatnya sebenarnya kita bisa menghindarinya dengan melakukan upaya yang lebih baik. Dan kita tidak melakukan upaya yang optimal atau yang terbaik tersebut, tetapi justeru dengan mudahnya mengatakan itu cobaan dari Tuhan. Bahwa Tuhan memberi musibah itu kepada setiap hambaNya itu satu keniscayaan. Tiap orang tentu berbeda apa yang didapatnya. Tapi patut digarisbawahi, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang atau kaum sebelum ia mengubah nasibnya sendiri. Nah, pertanyaannya, apakah kita telah melakukan upaya yang terbaik?
Tapi omong-omong, apa sih musibah itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata ‘musibah’ adalah kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa. Sebenarnya secara sederhana musibah diartikan sebagai satu peristiwa dimana seseorang tidak dapat memperkirakan bahwa itu akan terjadi. Umumnya musibah dikaitkan dengan peristiwa menyedihkan. Walau ada yang mengatakan, musibah tak harus dikaitkan dengan kesedihan. Misalnya saja, saat seorang naik jabatan, ada yang bergembira, tapi ada juga yang mengatakan bahwa itu satu musibah. Jadi memang tergantung konteks peristiwanya itu sendiri.
Jadi, musibah pada intinya berkaitan dengan peristiwa yang kita tidak dapat memprediksinya. Misalnya, saat seorang sedang tidur, tahu-tahu tertimpa meteor jatuh. Atau saat seorang sedang berkendara mobil, tahu-tahu ada peluru nyasar mengenai mobil atau bagian tubuhnya. Itu baru namanya musibah. Karena kita tidak tahu bahwa hal itu akan terjadi. Darimana orang yang tidur itu tahu bahwa akan ada meteor jatuh. Darimana orang itu tahu bahwa akan ada peluru nyasar mengarah ke kendaraannya.
Bagaimana bila seorang melawan arus kendaraan lalu terjadi tabrakan yang menyebabkan tewasnya sang pengendara tersebut. Apakah itu dapat dikatakan musibah? Sang pengendara itu pasti tahu bahwa tindakannya melawan arus berbahaya bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Jadi ia sebenarnya sudah memperkirakan sebelumnya bahwa itu akan berisiko tinggi terhadap keselamatan dirinya dan juga orang lain. Sudah tahu bahaya, mengapa masih tetap dilakukan? Jadi, apakah masih bisa dikatakan suatu musibah?
Peristiwa menyedihkan, saya tak menyebutnya musibah, sejatinya dapat dihindari bila semua aturan main telah dijalankan. Tapi bila semua aturan main telah dilakoni, dan telah melakukan upaya seoptimal dan sebaik mungkin, tapi masih terjadi peristiwa menyedihkan atau yang tidak kita harapkan, itu musibah namanya.
Dengan kata lain, kita wajib berikhtiar. Ikhtiar yang berarti melakukan berbagai daya upaya untuk memperbaiki keadaan menjadi baik atau lebih baik lagi dan menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat musibah.
Biasanya, setelah suatu peristiwa yang terjadi karena keteledoran, barulah kita sadar. Tapi kadang, kepedulian datang terlambat, bahkan kadang tidak ada sama sekali. Kita semestinya dapat belajar dari setiap peristiwa yang terjadi, agar dikemudian hari tak terulang kembali. Bagaimana bila satu peristiwa meyedihkan sudah terjadi? Apakah karena keteledoran atau bukan, kita tetap harus bersabar dan bertawakal. Dan yang lebih penting lagi, tetap mencari solusi atau jalan keluar terhadap peristiwa yang terjadi tersebut.
Seorang tokoh satu saat pernah berdiskusi dengan saya. Ia mengatakan seharusnya seorang manusia bersyukur tak hanya terhadap berkah yang di dapatnya. Berkah itu dapat berupa rezeki, kesehatan, urusan yang lancar, atau hal lainnya. Tapi manusia juga semestinya bersyukur terhadap musibah yang menimpanya. Jadi kita harus bersyukur terhadap berkah dan musibah yang menimpa pada diri kita. Dalam hal ini konteksnya kita harus bertawakal. Sikap tawakal dimaknai sebagai perbuatan yang menyerahkan semua perkara atau urusan hanya kepada Yang Maha Kuasa setelah kita melakukan upaya yang terbaik.
So, dalam segala urusan apapun, tetap lakukan upaya yang optimal dan sebaik mungkin. Saat berkendara. Saat bekerja. Saat bepergian. Saat apapun. Tak lupa berdoa tentunya. Setelah itu, kita berserah diri kepadaNya. Saya percaya, para pembaca setia Message of Monday ini termasuk ke dalam orang-orang yang sabar dan bertawakal. Semoga.
* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012