Logo Header
Blog

Blog

Home /
/ NARKOBA DI KALANGAN EKSEKUTIF MUDA JAKARTA
NARKOBA DI KALANGAN EKSEKUTIF MUDA JAKARTA

NARKOBA DI KALANGAN EKSEKUTIF MUDA JAKARTA

NARKOBA DI KALANGAN EKSEKUTIF MUDA JAKARTA
Oleh: Sonny Wibisono, bukan eksekutif, anti narkoba, tinggal di Jakarta

Minggu lalu kita dikejutkan oleh berita yang menimpa kaum eksekutif muda di Jakarta. Mereka, para eksekutif muda di Jakarta ternyata menempati peringkat tertinggi dalam hal penyalahgunaan narkotika. Di luar pengetahuan umum, tingkat penyalahgunaan obat terlarang pada kaum terdidik berpenghasilan di atas rata-rata ini melampaui kasus pada profesi lainnya, bahkan kalangan penganggur sekalipun.

Dalam penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional dengan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) belum lama ini, ditemukan bahwa kelompok pemakai tertinggi narkoba berusia muda sekitar 25 tahunan. Usia di bawah itu juga terkena, tetapi masih jarang dijumpai. Masalah narkotika ternyata tidak hanya menimpa kaum penganggur seperti anggapan umum selama ini. Sekitar 72 persen kasus narkotika malah terjadi pada kaum pekerja. Sekitar 20 persen di antaranya berstatus eksekutif muda. Persentase ini disusul kelompok usia pelajar dan mahasiswa sekitar 12,3 persen.

Yang paling menyesakkan dada, penelitian yang mengambil sampel dari 90 kelurahan ini menyimpulkan, tidak ada satupun wilayah di Jakarta yang bebas narkotika. Barang haram itu sudah telanjur menyebar dan merasuk ke hampir pelosok dan lorong kota Jakarta. Dari persentasenya, Jakarta Timur merupakan wilayah terparah merambahnya narkotika, yaitu sekitar 25 persen, Jakarta Pusat (23 persen), Jakarta Selatan (20 persen), Jakarta Barat (17 persen), dan Jakarta Utara (15 persen).

Kecenderungan penyalahgunaan narkotika di Jakarta pun terus meningkat. Pada 1999 hanya terjadi 1.883 kasus. Tahun 2003 meningkat drastis menjadi 7.140 kasus. Bila diambil persentase kenaikan, setiap tahunnya meningkat sekitar 58 persen, atau rata-rata sekitar 615 kasus. Dan tentu saja, jumlah ini hanya yang terpantau, yang tidak terpantau diperkirakan lebih banyak lagi.

Penyalahgunaan narkotika ini bukan hanya menyebabkan kinerja karyawan merosot drastis, tetapi pihak perusahaanpun ikut menanggung rugi. Dan tentu saja berdampak pada keharmonisan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Bila merujuk pada data yang ada, tingginya pengguna narkotika dari kalangan eksekutif muda ini bukanlah sesuatu yang ‘aneh’. Karena mereka sebagai pemakai narkoba umumnya memiliki kemampuan finansial di atas rata-rata, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan barang haram tersebut.

Menyedihkan memang, mereka para kaum terdidik yang memiliki pengetahuan akan bahaya narkoba beserta dampaknya justeru sebagai pengkonsumsi aktif narkoba. Menjadi pertanyaannya, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Apa yang sebaiknya dilakukan perusahaan dalam usaha mencegah dan menanggulangi bahaya narkoba di tempat kerjanya?

Dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan obat-obat berbahaya di pelbagai perusahaan perlu dilakukan langkah taktis dan strategis. Bagi perusahaan-perusahaan, hal ini dapat menerapkan policydan aturan tersendiri di perusahaan yang bersangkutan. Walau negara kita memiliki UU mengenai narkoba, yaitu UU No. 22/1997 tentang Narkoba serta peraturan lainnya yang mengiringinya, tetapi sayangnya kita belum mempunyai aturan yang nyata mengenai masalah narkoba di tempat kerja.

Hal ini berbeda dengan masalah HIV/AIDS di tempat kerja. Pada tahun ini juga, Menaker mengeluarkan Kepmenaker No. KEP-68/MEN/IV/2004 mengenai Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Padahal, semenjak tahun 1980-an, setelah dilakukan riset yang mendalam, di beberapa negara Eropa ditemukan bahwa menyuntik narkoba memiliki kaitan erat dengan infeksi HIV. Sehingga negara-negara Eropa juga menerapkan peraturan yang berkaitan mengenai narkoba dan HIV/AIDS.

Perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, khususnya yang dikategorikan perusahaan besar dapat mencontoh apa yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di berbagai negara maju dalam upaya memerangi narkoba di perusahaannya. Di beberapa negara maju, selain menerapkan policy dan aturan tersendiri mengenai masalah narkoba di tempat kerjanya, mereka pun memiliki departemen atau sub-bidang khusus yang menangani masalah pencegahan dan penanggulangan narkoba.

Secara berkala, para pekerja dilakukan tes urineuntuk mengetahui sang karyawan apakah sebagai pemakai narkoba atau tidak, begitu pula dalam rekrutmen pegawai baru. Program ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akan tetapi dengan cara inilah dapat diketahui positif atau tidaknya sang karyawan dalam hal pemakaian narkoba. Program tersebut akan menjadi sia-sia bila tidak diimbangi upaya-upaya preventif.

Perusahaanpun secara aktif melakukan program penyuluhan, diseminasi, dan sosialisasi mengenai bahaya dan dampak penggunaan narkoba. Program-program tersebut tidak harus dilakukan oleh internal perusahaan sendiri, tapi dapat juga mengundang pakar atau konsultan untuk menangani masalah ini.

Bagaimana bila ada karyawan yang kemudian diketahui positif sebagai pengguna narkoba? Hal ini tergantung dari kebijakan dan aturan yang diterapkan perusahaan yang bersangkutan. Biasanya bila karyawan tersebut berada pada level bawah, sanksinya yang paling maksimal adalah dipecat. Bila pengguna narkoba tersebut menimpa karyawan dengan memiliki skill tertentu, ada perusahaan yang melakukan program rehabilitisasi dan penyembuhan bagi karyawan tersebut. Hal ini dilakukan mengingat karyawan tersebut memiliki skilltertentu atau key persondi perusahaan tersebut yang sulit dicari gantinya.

Pemerintah juga harus aktif melakukan upaya preventif untuk mencegah meningkatnya kasus dan peredaran narkoba. Seperti pemasangan spanduk di lokasi strategis, pembagian stiker, brosur, poster dan buklet anti-narkoba kepada masyarakat, seminar, talk-show di tv dan radio, pemberitaan di mass media, serta berbagai program yang secara holistic dan berkelanjutan dalam upaya memerangi narkoba.

Hal yang lebih penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan narkoba kembali kepada political willPemerintahan ini. Harus ada tindakan hukum yang konkret dan tanpa pandang bulu dalam upaya menjerat pelaku kejahatan narkoba. Tindakan hukum tersebut berupa hukuman yang berat kepada para pelaku pengedar dan pemasok narkoba di negeri ini, seperti hukuman mati. Perlakuan hukum seperti ini sesungguhnya dapat menjadi shock terapy agar warga negara Indonesia atau asing jera dan tidak coba-coba menggeluti bisnis haram ini.

Presiden Megawati dalam pidatonya pernah menyampaikan akan menghukum mati para pengedar narkoba di negeri ini. Beberapa kasus memang telah terlihat hasilnya, seperti saat ini saja, di Banten 23 napi kasus narkoba menunggu eksekusi hukuman mati. Beberapa kalangan menilai langkah ini belum optimal, karena masih banyak pelaku dan pengedar narkoba yang bebas berkeliaran di negeri ini.

Semoga saja Pemerintah concerndan melakukan tindakan yang konkret terhadap masalah narkoba ini. Apalagi para capres dalam kampanyenya kemarin berjanji akan menghukum mati para pelaku dan pengedar narkoba. Upaya-upaya ini tentu saja harus mendapat dukungan yang nyata dari semua pihak dan instansi yang terkait, serta masyarakat luas dalam upaya memerangi narkoba. Mari kita dukung sepenuhnya.

* Pernah dimuat di Harian Jakarta – Kamis, 22 Juli 2004

Latest Post

SELAMAT JALAN MAS HILMANSELAMAT JALAN MAS HILMAN
Saya dan my sister mengoleksi novel Lupus sejak masih remaja. Beberapa hilang karena dipinjam dan tak pernah kembali. Akhirnya saya beli lagi. Dulu mencarinya penuh perjuangan. Dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tak terkecuali lapak buku bekas Pasar Senen disinggahi. Dulu belum ada toko online semacam tokopedia, bukalapak, shopee dan lainnya.
IKAN CUPANG DAN RUJAKIKAN CUPANG DAN RUJAK
Saat menyantap rujak buah di meja rapat dengan para kolega sambil melihat ikan cupang yang berada dihadapan kami, saya bertanya ke para kolega, apa persamaan dan perbedaan ikan cupang dan rujak buah. Mereka cuma bingung dengan pertanyaan aneh tersebut.
SAAT PAK HARTO MEMANGGIL PARA MENTERINYASAAT PAK HARTO MEMANGGIL PARA MENTERINYA
Langkanya minyak goreng yang terjadi di sejumlah daerah kembali mengingatkan saya akan perbincangan dengan almarhum Pak Mar’ie Muhammad. Pak MM, biasa kami menyebutnya begitu, merupakan Menteri Keuangan periode Maret 1993-Maret 1998. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Desember 2016 di RS PON Jakarta.
KOMENTAR